Republik Satgas dan Anjloknya Citra SBY Disfungsi Lembaga Negara:

Republik Satgas dan Anjloknya Citra SBY

Disfungsi Lembaga Negara:

Jusman Dalle - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono anjlok. Hasil survei pada 1-7 Juni 2011 yang dirilis pada Ahad (26/6) dan menjadi head line Harian Fajar pada Senin (27/6), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat, masyarakat yang puas dengan kepemimpinan SBY tingga sebesar 47,2 persen.

Artinya tingkat kepuasan kinerja SBY menurun 9,5 persen dibandingkan pada bulan Januari 2011, dimana masih pada awal tahu tersebut tercatat tingkat kepuasan masyarakat masih di angka 56,7 persen.

Trend Negatif

Di atas kertas, seharusnya legitimasi pemerintahan SBY sangat kuat, karena ada 75,2 persen dukungan berdasarkan kalkulasi ideal jika semua pemilih dari partai koalisi tetap loyal dan mendukung dan puas atas kinerja pemerintahan SBY.

Koalisi awal terdiri dari Demokrat, PPP, PKS dan PKB serta PAN berarti besar dukungan 56 persen, kemudian menyusul Golkar yang bergabung -pasca kemenangan Abu Rizal Bakri sebagai Ketua Umum- sehingga SBY mendapat tambahan suara 19,2 persen.

Namun politik bukanlah matematika yang bisa dikalkulasi secara sederhana. maka Jika dibaca secara umum, sejak dilantik untuk periode ke dua, kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY mulai memperlihatkan instabilitas. Menurut data LSI, pada Januari hingga April 2010, tingkat kepuasan masyarakat berada pada angka 63,1 persen.

Kasus mafia pajak, Gayus Tambunan yang mencuat sepanjang 2010 berkontrbusi besar mengoreksi kepuasan publik. Hingga pada September data sejumlah lembaga survey penurunan secara signifikan. LSI mencatan pada angka 60,7 persen, sementara survey Indobarometer pada Agustus 2010 mencatan tingkat kepuasan berada pada angka kuning, 50,9 persen.

Berbagai pemberitaan dan kritik yang menyerang Pemerintahan SBY akhirnya semakin membuka mata publik akan buruknya kinerja pemerintah.

Mulai dari kritik sejumlah tokoh lintas agama yang mempublikasikan kebohongan pemerintahan SBY, kemudian menyusul pemberitaan dua media Australia, The Age dan The Sedney Morning Herald, bahwa ada penyalah gunaan wewenang oleh SBY dan sejumlah elit di ring satu Istana.

Termasuk blowup –walaupun tidak masif, tapi cukup efektif mengingatkan publik- tentang berlarut-larutnya sejumlah permasalahn hukum. Dari skandal Bank Century, rekayasa dan kriminalisasi KPK, dan rentetan kasus setelahnya.

Maka tak heran jika pada bulan Mei 2011, Indobarometer mencatat angka merah bagi kepuasan publik. Tinggal 48,9 persen. Dari angka dan data-data tersebut, nampak terjadi trend negatif terhadap kepuasan atas kinerja Pemerintahanh SBY-Budiono.

Menarik menganilisis secara korelatif anjloknya citra SBY tersebut dengan disfungsi leadership yang berimplikasi pada mandulnya lembaga negara dalam menjalankan tugas-tugas fungsional. Termasuk kebiasaan pemerintahan SBY membentuk Satuan Tugas (Satgas), yang kini hangat juga dibicarakan.

Seperti disampaikan Presiden SBY dalam konferensi pers di kantor kepresidenan pada Kamis (23/6), untuk menangani banyaknya permasalahan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, khususnya menyangkut Tenaga Kerja Indonesia (TKI), SBY telah mengintruksikan pembentukan Satgas.

Keputusan pembentukan Satgas WNI-TKI ini merupakan reaksi yang dilakukan pemerintah atas eksekusi pancung Ruyati binti Sapubi di arab Saudi, TKW asal Cikarang Bekasi yang sebelumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Menurut pemerintah, Satgas WNI-TKI ini dibentuk untuk menangani WNI -dan TKI secara khusus- yang terancam hukuman berat seperti hukuman mati. Dari catatan pemerintah, sejak tahun 1999 hingga tahun 2011 ini ada sekitar 303 kasus ancaman hukuman mati bagi WNI yang tersebar di berbagai negara.

Disfungsi Lembaga Negara

Diantara yang mendesak untuk diselamatkan yaitu di China, ada enam WNI yang telah divonis mati dari 20 kasus yang tengah diproses (data Andi Arief-Stafsus Presiden). Di Malaysia, ada 233 orang terancam hukuman mati, di Singapura 10 orang, Suriah 1 orang, Uni Emirat Arab 1 orang (data Kemenlu). Di Arab Saudi ada 58 kasus , sebanyak 35 kasus di antaranya merupakan kasus pembunuhan (data F-PDIP).

Dari data-data di atas, permasalahan WNI secara umum, baik TKI maupun pelaku bisnis haram seperti perdagangan narkoba di luar negeri, tidaklah sedikit. Mulai dari kasus pemubuhan, hingga perdagangan narkoba. Berdasarkan konstitusi negara, maka tugas pemerintahlah yang menjaga warganya, dengan berbagai cara.

Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan masyarakat, sejauh mana efektifitas Satgas yang dibentuk dibawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM, Kemkenterian Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Departemen Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tersebut?

Pertanyaan ini tentu wajar dikemukakan, mengingat sejak tahun 2005, tercatat ada 13 Satgas yang dibentuk oleh pemerintah. Namun pembentukan Satgas yang merupakan lembaga ad hoc ini, tidak banyak yang membantu pemerintah. Keberadaan satgas bahkan semakin menunjukkan tidak berfungsinya berbagai lembaga resmi negara. Tak jarang justru terjadi tumpang tindih dan bahkan ketidak jelasan pembagian kerja diantara lembaga tersebut. Secara fungsional, lembaga negara terkait menjadi tak berdaya guna.

Efektifitas Satgas

Diantara satgas yang dibentuk SBY adalah Satgas Investasi Infrastruktur pada Januari 2005. Satgas Flu Burung pada Maret 2007, namun di sisi lain jumlah korban flu burung semakin bertambah.

Hingga akhir 2008, tercatat jumlah total kematian mencapai 100 orang dari 124 kasus positif (tempointeraktif.com). Kemudian pada Oktober 2008, pemerintah juga membentuk Satgas Pemilu yang lebih difokuskan pada pengamanan pesta demokrasi tersebut. Tapi pada kenyataannya, masih terjadi sejumlah kekerasan pemilu, bahkan menembus angka 28 kasus, termasuk kasus pembunuhan (antaranews.com).

Yang paling populer dan masih bertugas (belum dibubarkan) hingga saat ini adalah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) yang dibentuknya pada November 2009. Sejak satgas ini didirikan, satu-satunya prestasi yang bisa dilakukan adalah memulangkan Gayus dari Singapura. Pemulangan ini pun berawal bukan karena kesengajaan.

Sebagaimana pengakuan Sekretarisnya Denny Indrayana, bahwa pertemuannya dengan gayus hanya kebetulan saja.

Walaupun Gayus dan tim pengacaranya membantah "kebetulan" tersebut. Karena dicurigai Satgas menjadi alat politik kelompok tertentu. Selain terhadap Gayus, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Satgas yang tugasnya mengkoordinasi berbagai lembaga hukum tersebut.

Contoh kecil, Satgas PMH ini tidak mampu mengungkap dan mendorong penyelesaian kasus Bank Century yang secara nyata telah masuk ke ranah hukum (berada ditangan KPK). Juga tidak mampu mendorong pembersihan lembaga hukum dari mafia. Lihat misalnya, kasus Syarifuddin Umar, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang ditangkap tangan oleh KPK karena terlibat suap.

Dari contoh-contoh di atas, nampak bahwa preferensi terhadap peran strategis Satgas masih menjadi tanda tanya. Tidak hanya itu, keberadaan sejumlah satgas juga dikritik posisinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Satgas yang tidak dipayungi aturan hukum, karenanya keberadaan Satgas tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban berdasarkan aturan hukum. Berbeda dengan lembaga resmi negara yang keberadaannya memiliki konsekuensi hukum sehingga bisa diawasi oleh masyarakat.

Simalakama

Dari sejumlah asumsi di atas, jelaslah bahwa pembentukan sejumlah Satgas, termasuk Satgas yang mengurusi WNI bermaslah di luar negeri, hanyalah aksi spontanitas pemerintahan SBY dalam menyikapi kecaman publik.

Bagai buah simalakama, Satgas justru menurunkan intergritas leadership Presiden SBY. Presiden SBY secara faktual nampak tidak mampu memfungsionalisasi berbagai lembaga resmi negara yang telah ada. Oleh karenanya Satgas tersebut –khususnya Satgas WNI dan TKI- juga menjadi indikator lemahnya manajemen Presiden SBY dari berbagai sisi.

Pertama, dari sisi diplomasi, nampak bahwa Indonesia menunjukkan inferioritas di hadapan negar lain. Negara kehilangan wibawa. Diplomat yang telah diplot di masing-masing negara tidak mampu melakukan komunikasi dengan pemerintah setampat sehingga bisa meringankan atau menyelamatkan nyawa WNI.

Selain inferioritas, bisa juga Indonesia masih dipandang rendah sehingga tidak memiliki bargaining position. Dari segi komunikasi politik luar negeri, ini tentu merugikan posisi Indonesia di mata dunia.

Kedua, lemahnya kredibilitas lembaga resmi negara. Nampak bahwa kompetensi pejabat-pejabat yang ditempatkan di sejumlah instansi tersebut, tidak memenuhi kualifikasi dan standar kualitas. Tugas utama tidak mampu diselesaikan. Misalnya diplomasi oleh Menlu dan jajarannya, advokasi oleh Kemenkumham, pemenuhan standar kualifikasi pekerja (TKI) oleh Kemenakertrans dan BNP2TKI.

Ketiga, membuktikan lemahnya komunikasi dan koordiansi antar lembaga negara. Sehingga perlu adanya lembaga ad hoc yang secara memaksa lembaga resmi negara tersebut bekerja bersama.

Hal ini tentu tidak lepas dari Menteri Koordinator yang membawahi, baik itu Menkopolhukam maupun Menkokesra. Termasuk juga Presiden SBY sebagai top leader. Lagi-lagi, Satgas hanya menjadi buah simalakama yang berimplikasi bagi integritas SBY.

Citra Anjlok

Maka dari serangkaian implikasi negatif tersebut di atas, tak heran jika ada stigmatisasi jika keberadaan Satgas hanya merupakan cara SBY memanfaatkan lembaga negara untuk pencitraan diri sekaligus mereduksi kritik publik. Subtansi fungsionalitas lembaga negara menjadi tidak penting.

Di sisi lain, keberadaan Satgas justru menjadi pertanyaan besar, betulkah lembaga resmi negara telah mandul, tidak lagi berfungsi secara sehat untuk menuntaskan tugas-tugasnya?

Hasil survei LSI yang menyebutkan anjloknya persepsi publik (responden) terhadap tingkat kepuasan atas kinerja Presiden SBY, hanya salah satu akibat dari gaya kepemimpinan SBY yang spontanitas dan lebih mengutamakan citra. Publik makin cerdas membaca kegagalan Presiden SBY memberdayakan (empowering) lembaga-lembaga negara di luar domain dan dominasi kepentingan serta kekuatan politik.

Paling utama yang harus dilakukan SBY adalah pemberdayaan lembaga penegak hukum, karena dari survey terbaru LSI tersebut yang paling signifikan menjadi pengaruh negatif adalah kasus korupsi, juga yang dilakukan kader-kader Partai Demokrat sebagai pertai pengusa dan besutan SBY. Ikonisasi SBY ditubuh Demokrat tentu tidak bisa dipisahkan.

Angka 47,2 persen atau terendah selama SBY memimpin, merupakan titik kritis dan ancaman delegitimasi di tengah masih panjangnya sisa waktu pemerintahan SBY.

3 tahun 3 bulan terhitung hingga Oktober 2014. Hasil survey yang melibatkan 1.200 responden di 33 provinsi tersebut, bukan lagi untuk didebat oleh SBY dan para loyalisnya. Tapi menjadi entry point untuk bermuhasabah. Menata leadership, khususnya pemberdayaan lembaga negara, koordinasi antar lembaga, dan gerak cepat semua entitas pemerintahan.

Termasuk juga melakukan cuci gudang, bersih-bersih Partai Demokrat dari para koruptor yang numpang berlindung. Karena persepsi tentang banyaknya koruptor yang berumah di Demokrat bukan persoalan sederhana untuk dihapuskan dari memory kolektif masyarakat.

Selain terganjal pada aturan, SBY memang sudah menyatakan tidak akan mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 mendatang, namun mengakhiri masa kepemimpinan dua periode dengan happy ending, khusnul khatimah, akhir yang baik dan cerita indah, tentu harus dilakukan untuk mengabadikan di memory rakyat Indonesia bahwa mereka pernah dipimpin oleh SBY selama dua periode degna akhir yang baik. Wallahu'alam

*Penulis adalah Pengurus Pusat KAMMI dan Analis Ekonomi-Politik di Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute


Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323

(wwn/wwn)

0 komentar: