Politik Dinasti Apakah Berbahaya

Politik Dinasti Apakah Berbahaya

Fatkhuri S IP MA MPP - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Ruwaid Mile adalah seorang Istri Bupati Bone Bolango (Ismet Mile) Provinsi Gorontalo. Ismet Mile dalam waktu dekat akan maju lagi (Incumbent) dalam perebutan kepala daerah 2010 untuk kedua kalinya. Menariknya salah satu pesaingnya (contender)
adalah Ruwaida Mile yang notabene adalah istrinya.

Ismet Mile diusung oleh Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) sedangkan Ruwaida Mile diusung oleh Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Di kabupaten ini pula persaingan keluarga lain terjadi.

Mohammad Kris Wartabone yang berpasangan dengan Irwan Mamesah di mana diusung PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional juga bertarun dengan kakaknya, Kilat Wartabone yang maju sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan Bonny Oentu dari Partai Golkar.

Pada awalnya Ruwaida tidak berniat mencalonkan diri. Hal tersebut bahkan ditunjukkan dengan keikutsertaan dia dalam acara deklarasi suaminya menjadi calon bupati untuk periode berikutnya. Namun, karena rasa sakit hati Ruwaida Mile terhadap suaminya akhirnya dia memutuskan untuk maju menjadi pesaing suaminya dalam Pemilukada Juli mendatang.�

Keputusan Ruwaida untuk maju dalam Pemilukada sangat beralasan. Sebab, di samping dia sakit hati karena suaminya beristri lagi, jabatan Ruwaida sebagai ketua organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ternyata dialihkan ke istri kedua. Praktis� rasa sakit hati tersebut kemudian membuncah dan klimaksnya menjadi rasa dendam hingga dia memutuskan untuk maju dalam Pemilukada.

Cerita singkat di atas hanya sebuah refleksi bahwa femonena politik dinasti masih menjadi realitas vulgar dalam jagad politik Indonesia. Dinamika politik Indonesia seakan tidak ramai tanpa ada partisipasi politik dari salah satu figur yang merepresentasikan kekuatan politik status quo melalui sanak familinya. Publik pun tidak dapat memprediksi. Sampai kapan fenomena politik dinasti akan berakhir.

Menjelang pemilihan kepala daerah tahun 2010 yang kurang lebih mencapai 244 politik dinasti semakin menggejala di negeri ini. Cerita di atas hanya contoh kecil sebab faktanya banyak sekali dijumpai sanak famili mencoba untuk tetap mencengkeramkan
pengaruh politiknya dalam kekuasaan.

Di tengah arus deras demokratisasi maraknya politik dinasti menunjukan bahwa desentralisasi kekuasaan belum terdistribusi secara merata kepada semua pihak. Upaya untuk menciptakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sebagai bentuk ideal demokrasi semakin jauh panggang dari api. Dengan kata lain, laju demokrasi secara gamblang menghadapi jalan terjal. Politik keluarga semakin menegaskan bahwa sentralisasi kekuasaan pelan tapi pasti akan tetap tumbuh bak jamur di musim hujan.

Politik Dinasti: Praktik Neo-Nepotisme

Semua mafhum reformasi dibangun atas kesadaran bersama seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejateraan rakyat Indonesia. Salah satu cara yang dinilai efektif adalah dengan menghancur-leburkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

12 tahun reformasi Indonesia masih menyisakan masalah besar dengan korupsi. Skandal Korupsi hampir di semua lini pemerintahan masih menggurita sedemikian akut. Usaha pemerintah memang sudah luar biasa keras namun kultur koruptif sepertinya susah untuk diberantas. Banyak sekali regulasi dibuat dan diimplementasikan namun mudah sekali untuk dilanggar. Setali tiga uang.

Nepotisme juga menjadi masalah yang sampai hari ini yang belum tuntas untuk dibumihanguskan dari persada Indonesia. Padahal, karena nepotisme pula, rezim Orde Baru kemudian tumbang dan Negara mengalami krisis sampai pada derajat yang tidak bisa ditoleransi lagi.

Dus, fenomena politik dinasti yang hinggap baik di partai (lembaga) politik
maupun lembaga pemerintahan merupakan praktek nepotisme yang membahayakan demokrasi. Apa sebetulnya motif para elit politik mewariskan kekuasaannya terhadap sanak famili mereka? Apakah tujuan mereka benar-benar berjuang demi kepentingan rakyat, atau sebaliknya untuk memperkokoh kekuasaan keluarga? Apakah politik dinasti selalu berdampak negatif dalam pelaksanaan pemerintahan?

Penting dicatat bahwa politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (famili). Dinasti politik ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya dengan cara penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam partai (lembaga) politik.

Biasanya ini adalah cara agar sanak famili tersebut bisa dengan mudah meraih jabatan publik baik sebagai bupati/wakil bupati (eksekutif) maupun sebagai anggota perwakilan Rakyat/DPRD. Dalam lembaga politik seperti partai mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapatkan keistimewaan (privilege) untuk menempati pelbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi. Di sisi lain ada juga praktek dinasti politik dengan melakukan pemecahan kongsi kekuatan politik dalam keluarga.

Biasanya hal ini ditunjukan dengan salah satu anggota keluarga bergabung dengan
partai lain untuk memperebutkan posisi politik seperti Bupati, Gubernur, bahkan Presiden sekali pun. Jadi, dalam satu keluarga bisa ada persaingan sebagaimana diawal cerita tulisan ini. Di dalam keluarga mereka bersatu. Akan tetapi di luar mereka saling berseberangan.

Tak bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan demokrasi. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga. Dinasti politik bisa menjadi absolut manakala ruang kritik kemudian tertutup rapat sehingga mekanisme keputusan dan regulasi yang dibuat cenderung ekslusif.

Dalam praktik kenegaraan kondisi ini pada gilirannya membuat negara menjadi kaku dan otoriter sebab arah pemerintahan hanya bertumpu pada kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Di sisi lain politik dinasti semakin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak mempunyai kompetensi yang memamdai.

Dus, roda pemerintahan semakin tidak terarah. Kondisi ini pada akhirnya juga berkontribusi terhadap tertutupnya pintu kesejahteraan rakyat. Bukti kongkret bahwa dinasti politik berdampak negatif adalah fakta yang ditunjukan dari rezim otoriter Soeharto.

Aspek Moral dan Kualitas Individu

Tidak semua politik dinasti didasari atas upaya untuk melanggengkan kekuasaan keluarga. Dalam beberapa hal trah politik dijalankan dalam rangka melanjutkan estafet kepemimpinan pendahulunya tanpa embel-embel kepentingan keluarga.

Munculnya tokoh yang kompeten, kredibel, serta mempunyai segudang pengalaman organisasi barangkali bisa dijadikan sebagai bukti. Artinya, meskipun orang tersebut mewarisi trah politik pendahulunya belum tentu peran mereka hanya sekedar untuk memenuhi hasrat politik keluarga.

Beberapa tokoh di Indonesia yang mewarisi pengaruh politik pendahulunya seperti Abdurrahman Wahid, Megawati, dan lain sebagainya bisa menjadi contoh kecil bahwa beberapa di antara mereka tidak mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya.

Abdurrahman Wahid mewarisi pengaruh politiknya dari figur sang ayah yang menjadi Menteri Agama pertama RI (Wahid Hasyim). Kemudian Megawati Sukarnoputri mewarisi bakat politiknya dari sang proklamator Soekarno.

Di Filipina, Presiden Macapagal Aroyo juga mewarisi geneologi politik dari sang ayah Diosdado Pangan Macapagal yang menjadi Presiden Filipina ke-9 (1961-1965). Arroyo menjadi Presiden bukan hanya karena faktor geneologi politik ayahnya (Diosdado Macapagal). Namun, melajunya Arroyo menjadi Presiden Filipina telah melewati masa panjang dan melelahkan.

Karir dia dalam politik tidak terbentuk secara instan. Melainkan dia lalui dari bawah. Di samping pernah menjadi Senator (1992-1998) Arroyo juga pernah menjadi wakil presiden mendapingi Joseph Estrada (1998) sebelum akhirnya ditunjuk sebagai anggota kabinet dengan jabatan Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan.

Terlepas dari kontraversi yang menyertainya tokoh-tokoh tersebut bisa menjadi role model yang mana peran mereka tidak sekedar mengandalkan nama besar pendahulunya namun kualitas personal menjadi kunci utama memperoleh dan menjalankan kekuasaan. Penting dicatat bahwa politik dinasti terjadi bukan karena sistem politik yang rapuh.

Di Negara-negara yang telah mapan sistem politiknya seperti misalnya Amerika praktik semacam ini juga lazim terjadi. Hampir dapat dipastikan bahwa trah politik Kennedy juga mempunyai peranan yang signifikan dalam percaturan politik Amerika.

Dampak negatif dinasti politik bisa diminimalisir manakala aspek moral dan kualitas individu menjadi pertimbangan penting. Artinya tidak selamanya praktek dinasti politik mempunyai dampak yang destruktif. Dalam kaitan ini semua bergantung dari moralitas yang menerima kekuasaan dalam menjalankan kewenangannya.

Di sisi lain praktik politik yang menyimpang dari dinasti politik juga bisa dicegah manakala sistem pengawasan publik dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Lebih tepatnya karena adanya mekanisme kontrol dan sistem rekruitmen yang terbuka, meskipun anggota keluarga mewarisi kekuasaan, praktik penyalahgunaan wewenang masih bisa ditekan. Hal tersebut sangat beralasan sebab ruang kritik dari publik terbuka lebar.

Pendek kata, dalam alam demokrasi, dinasti politik bisa jadi akan bertahan, namun sulit untuk dipraktikan sebagaimana praktik dinasti politik di zaman dahulu yang penuh dengan penyelewengan dan sejenisnya. Dengan demikian aspek moral dan kualitas individu menjadi penentu (determinant factor) apakah dinasti politik akan memberi dampak destruktif atau konstruktif bagi roda pemerintahan.

Fatkhuri S IP MA MPP
Ciputat Tangerang
fatkhuri@ymail.com
081318318858

Pemerhati Politik, Alumni Australian National University (ANU) Canberra.

0 komentar: