Kearifan Lokal Rumah Adat Kudus

Kearifan Lokal Rumah Adat Kudus

Senin, 13 Agustus 2012 - 10:16 wib
Judul: Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga: Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus
Penulis: Nur Said
Penerbit: Brilian Media Utama, Kudus
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: xii + 114 halaman

Eksistensi sebuah rumah tidak sekadar tempat bernaung dari hujan dan panas. Bukan pula sekadar tempat melepas kepenatan dari pelbagai aktivitas kerja. Tapi sekaligus melambangkan identitas, karakter, dan jati diri si empunya rumah. Berbeda dengan bentuk rumah sekarang yang semakin dikomersilkan dan minim menyimpan filosofi-kearifan. Kini, rumah bertipikal warisan leluhur dalam rangka melestarikan budaya kian ditinggalkan.
  
Rumah Adat Kudus (RAK) salah satunya. Sekarang semakin langka dijumpai. Jumlahnya semakin berkurang karena beberapa hal: pertama, soal kapitalisme yang sudah semakin akut. Banyak  yang menjual RAK kepada para kolektor. Mereka tergiur oleh harga tinggi yang ditawarkan. Sampai saat ini, di Kudus sendiri, hanya tinggal satu RAK yang benar-benar murni  dan utuh. Selebihnya sudah tidak orisinal dan komplit karena pelbagai hal di atas tadi.
  
Sejarah dinamisasi RAK sendiri tidak lepas dari pengaruh tokoh muslim-Tionghoa kala itu yakni Kiai Telingsing yang tiba di Kudus sekitar abad 15 M. Kehadirannya di samping menyebarkan Islam dan membantu dakwah Sunan Kudus juga berperan penting khususnya dalam seni ukir yang selalu identik pada RAK.
  
Setiap rumah adat memiliki kekhasan dan nilai filosofi masing-masing. Tak terkecuali RAK yang menyimpan banyak sekali nilai-nilai moral di dalamnya. Ada empat bagian pokok dalam RA: pertama, pada bagian dasar, yakni lima trap di atas tanah terdiri atas banjik kapisan, banjik kapindo, banjik katelu, trap jogan jogo satru, dan trap jogan jogo lebet. Kelimanya menyimbolkan agar penghuninya dalam menjalani kehidupan ini selalu berorientasi pada pelaksanaan dan penghayatan terhadap lima butir rukun Islam.
  
Kedua, tata ruang yang terdiri atas pendopo, jogo satru, gedongan  (jogan lebet), joglo yang merupakan kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama. Kemudian gebyok  atau pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga serta gapura yang masih merupakan bagian dari gebyok yang berwujud pintu masuk.
  
Ketiga, bagian atas yang merupakan bagian paling menonjol di antara bagian-bagian lain. Bagian atas ini sering disebut dengan istilah ‘joglo pencu’. Penampilannya terkesan tegas; tidak mudah terkena arus, perkasa; tidak mudah ditundukkan oleh kelompok manapun termasuk pihak kolonial Belanda, dan anggun; menyimbolkan nilai keindahan (estetika) para penghuninya dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Keempat, bagian Pakiwan yakni sumur dan kamar mandi, yang uniknya terletak di depan. Bukan di belakang seperti lazimnya model kamar mandi sekarang. Peletakan pakiwan di depan menyimbolkan bahwa sebelum masuk ke rumah, seharusnya seseorang harus dalam keadaan bersih dan suci.   
  
Ada banyak motif ragam hias RAK. Motif China berupa ukiran naga yang biasanya terdapat pada hiasan bangku kecil. Motif Hindu banyak dijumpai pada padupan yang terdapat di gebyok. Motif Persia yang digambar dalam bentuk bunga-bunga yang terdapat dalam ruang jogo satru, serta motif Eropa yang divisualisasikan dalam bentuk mahkota yang terdapat di atas pintu masuk gedongan.
  
Bangunan RAK yang tampak gagah itu pada mulanya dimaksudkan sebagai wujud perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda yang menganggap rendah arsitektur kaum pribumi (masyarakat Kudus). Dengan adanya RAK, strategi bersifat kebudayaan ini rupanya menyiratkan tanda bahwa kaum pribumi juga patut untuk bersaing dan diperhitungkan nilai estetika dan filosofinya.
  
Relasi gender juga diperhitungkan dalam RAK. Misalnya saja soal bentuk gebyok yang dibuat relatif tinggi dari ukuran manusia normal, bertujuan melindungi anak perempuan dari hal-hal yang tidak diinginkan semisal di bawa lari oleh lelaki. Maka, kala itu tidak mudah seorang lelaki mengajak perempuan  ke luar rumah. Selain itu, juga mengatur tentang etika perempuan-lelaki saat di ruang tamu. Si empunya rumah yang kebetulan perempuan duduk pada sisi kiri ruang tamu, sedangkan tamu lelakinya duduk pada sisi kanan. Dan sampai sekarang pun laku tersebut masih sering dipraktikkan oleh sebagian masyarakat Kudus.
  
Setidaknya ada dua pesan yang ingin diungkapkan oleh buku yang terbilang tipis ini, yakni ingin menjadikan RAK sebagai model pendidikan karakter sebuah keluarga yang dirasa sudah mulai hilang tergerus modernitas zaman. Serta secara umum menyampaikan pula bahwa bentuk atau model rumah selalu menyimbolkan laku dan prinsip penghuninya.

Peresensi adalah Muhammad Itsbatun Najih, Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

0 komentar: