Hedonistik, Cermin Ideologi Politik Pejabat

Hedonistik, Cermin Ideologi Politik Pejabat

Jusman Dalle - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Ketua KPK Busyro Muqoddas secara tajam mengeritik pejabat negara yang sangat perlente, hidup mewah di atas ideologi pragmatis dan budaya hedonistik. Menurut Busyro, ideologi pragmatis dan hedonis adalah akar dari korupsi.

Gaya hidup yang sangat jauh dari kesajahaan, menciptakan deviasi dengan masyarakat yang masih terlilit kesulitan ekonomi. Akibat kritik Busyro tersebut, Presiden SBY pun menghimbau pejabat dibawahnya untuk hidup sederhana.

Apa yang disampaikan Busyro juga merupakan representasi dari kegelian dan kegelisahan kolektif bangsa ini menyaksikan pejabat yang seolah hilang sensifitas sosial dan absurd moral politiknya.

Senada dengan kritikan Busyro, di Sulawesi Selatan sorotan tajam juga mengarah kepada tujuh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi yang menggunakan anggaran negara (dana APBD) untuk melaksanakan ibadah haji dengan dalih melaksanakan tugas pengawasan dan pendampingan.

Kecaman semakin keras saat terungkap agenda anggota DPRD Sulsel mengikuti bimbingan teknis (bimtek) di Jakarta. Tak tanggung-tanggung, dana yang digunakan dalam workshop ini tidak kurang dari Rp. 900 juta sekali workshop.

Dengan rincian dari 75 anggota DPRD, untuk setiap anggota dianggarkan sebesar Rp. 12 juta. Dalam setahun, workshop yang bertujuan untuk peningkatan SDM ini dijadwalkan terselenggara selama tiga kali, maka total anggaran yang digunakan Rp. 2,7 miliar (Fajar/10/10/2011).

Ideologi Politik

Politik bukanlah ruang bebas nilai dan tanpa fatsun moral. Politik, sejatinya dikonstruksi dari ideologi sehingga perilaku politikus merupakan representasi wajah ideologi politik yang dianut. Mengutip Prof. Miriam Budiarjo (Dasar-Dasar Ilmu Politik: 2007), di dalam politik, nilai (value) adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar, sesuatu yang diinginkan bersama dalam kerangka kepentingan rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi dalam lingkup demokrasi.

Oleh karenanya, demokrasi mendeterminasi hegemoni elit. Menghapus kasta atau stratifikasi dari semua variannya. Baik itu soal-soal yang makro dan nampak secara kasat mata, hingga hal-hal yang sifatnya privat.

Plato, filusuf Yunani yang banyak mengilhami praktek politik modern, lebih dari 2400 tahun silam (428-348) telah membuat sebuah rumusan yang bermuara pada moral politik penyelenggara negara. Rumusan Plato tentang keadilan (justice) dalam negara idea (idea state) , yaitu negara yang menjunjung tinggi keadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya.

Salah satu ciri negara ideal menurut Plato sebagaimana dikutip dari Euis Amalia (2010), adalah yang melayani kebutuhan dasar manusia dalam rangka membangun kualitas kemanusiaan sehingga Plato mengklasifikasi pekerjaan menjadi tiga bidang, sebagai pengatur atau penguasa, tentara atau penjaga keamanan dan para pekerja.

Bagi Plato, semua manusia bersaudara. Tetapi Tuhan telah mengatur sedemikian rupa. Pertama, ada orang yang cocok sebagai pengatur di dalam hal ini termasuk filusuf dan pemerintah atau abdi negara. Kedua, ada juga yang cocok sebagai tentara atau penjaga keamanan, Ketiga sebagai pekerja, dalam hal ini termasuk petani, pedagang dan buruh.

Oleh Plato, dari ke tiga jenis pekerjaan tersebut, hanya golongan terakhir yaitu kaum pekerja yang boleh bekerja mengejar laba dan mengumpulkan harta. Sedang penguasa dan tentara seyogyanya tidak bekerja demi harta, tapi murni sebagai bentuk pengabdian pada negara.

Pembagian dan pengaturan ini dianggap perlu karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Bahkan cenderung tamak, ingin memiliki diluar kebutuhannya. Sehingga menjadi rintangan dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Jika pengabdian dan pelayanan (termasuk di dalamnya pemimpin) untuk Negara dipandang sebagai pekerjaan, maka akan menimbulkan kekacauan dalam bernegara.

Para pegawai Negara berlomba-lomba mengumpulkan materi untuk memenuhi kesenangan dan keserakahan nafsu hedonismenya, sehingga cara apapun dilakukan. Hal inilah yang menjadi stimulus bagi kecintaan berlebih pada jabatan dan praktek koruptif.
Pemimpin Bersahaja

Jika melihat tipologi kepemimpinan bersahaja yang diperankan Khalifah Umar ibnu Khattab, sungguh pemimpin masa kini sangat jauh panggang dari api. Apa yang dirumuskan Plato dan dirigidkan oleh Aquinas, bisa kita refleksikan dalam kepemimpinan Umar Ibn Khattab. Imam As Suyuti memotret sangat indah penggalan kisah Umar ibnu Khattab di dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Khulafa’ (Sejarah Para Khalifah : 2001).

"Tidak ada yang halal dari harta Allah bagi Umar kecuali dua pakaian, pakaian untuk musim dingin dan pakaian untuk musim panas. Dan saya tidak pernah memakai pakaian itu untuk menunaikan haji ataupun umrah. Sedangkan makanan saya dan keluarga saya adalah laksana makanan yang ada di kalangan Quraisy dari golongan yang tidak terlalu kaya, dan juga tidak terlalu miskin. Selebihnya saya adalah seorang lelaki dari kalangan kaum muslimin" demikian tulis As Suyuti mengutip ucapan Umar Ibnu Khattab.

Khuzaimah ibnu Tsabit, sahabat Rasulullah Saw, bahkan mempersaksikan bahwa ketika Umar mengangkat seorang pejabat, maka akan dituliskan perjanjian untuknya sebagai persyaratan untuk tidak mengendarai kuda (kendaraan mewah waktu itu), tidak memakai pakaian yang lembut dan empuk serta makanan dengan standar tinggi.

Juga dikatakan bahwa setiap pemimpin yang di tunjuk oleh Umar harus selalu membuka pintu rumahnya, bukan untuk mengajak berdialog dalam rangka meredam daya kritis mereka, akan tetapi untuk menunaikan kepentngan rakyat, mendengar keluh dan kesah serta memberi solusi.

Sejarah telah mengabadikan, di masa Umar lah, materi mengalir untuk umat Islam. Umar berhasil memperluas ekspansi kekuasaan Islam, membentang dari Eropa, Afrika dan Asia. Zakat, pajak, dan sumber penghasilan untuk kas negara melimpah.

Tapi Umar sebagai pemimpin yang bersahaja dan tekad mengabdikan dirinya untuk negara sebagaiamana rumusan Plato, mampu menjaga integritas di hadapan rakyat.

Bahkan pemimpin imperium Persia dan Romawi saat itu, segan dengan kemepemimpinan Umar Ibnu Khattab. Tak heran jika Michael Heart menempatkan Umar Ibnu Khattab sebagai salah satu dari 100 pemimpin yang paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Kepemimpinan Umar Ibnu Khattab berlandas pada kepentingan rakyat, Umar melayani sebagaimana rumusan Plato.

Mengakumulasi Kekecewaan

Kita patut mengoreksi dinamika politik yang tidak sehat. Praktek politik mengarah ke bisnis menjadi budaya sehingga semakin menihilkan moral politik. Intrik transaksional dan materilistik seringkali dilakukan untuk melegitimasi misi-misi politikus untuk menyalurkan gaya hidup hedonisnya.

Model seperti ini dikatakan oleh Proffesor Jeffery Winters sebagai praktek rulling ologarki. Yaitu praktek oligarki yang seolah-olah demokratis. Akar masalanya karena tidak adanya ideology politik. Maka lakon pragmatisme yang merupakan penanda lunturnya moral politik, sudah menjadi mainstream attitude sebagian besar politikus. Adalah wajar, jika masyarakat menjustifikasi bahwa politik itu kotor, sehingga muncul sikap antipati terhadap para politikus.

Disparitas kualitas hidup yang sangat tajam antara rakyat dan pelayannya, antara rakyat dan pemimpinnya, merupakan alarm jika terjadi disfungsionalisasi instrumen-instrumen demorkasi dan secara mekanis akan berakibat pada dekonstruksi hasrat politik masyarakat.

Lebih jauh lagi, disparitas sosial ini akan berefek pada akumulasi kekecewaan dan bisa meledak menjadi perlawanan karena tuntutan keadilan dari rakyat.

Jika ada anggota DPR atau DPRD beralasan wajar hidup mewah asal sesuai tingkat kebutuhan dan pencapaian ekonomi mereka secara personal yang tidak perlu diintervensi negara, dengan logika serupa maka kita pun bertanya, mengapa mereka tidak mencontoh pemimpin bersahaja sebagaimana Umar ibn Khattab yang terbiasa dengan pakaian bertambal sulam?

Atau seperti kesederhanaan Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran yang terbiasa menggunakan mobil bututnya beraktifitas sehari-hari? Kecaman Plato atas gaya hidup mewah, hedonis dan materialistik, pantas menjadi teguran keras bagi para pejabat di negeri ini.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Twitter: @Jusmandalle


Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.om
085299430323

(wwn/wwn)

0 komentar: