Jika Gubernur DIY Dipilih Rakyat Atas Persetujuan Parardhya

Jika Gubernur DIY Dipilih Rakyat Atas Persetujuan Parardhya foto

Nurvita Indarini - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Rapat kabinet paripurna memutuskan pasangan penyelengara pemerintahan (gubernur-wagub) akan dipilih rakyat Yogyakarta secara demokratis setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Sultan dan Paku Alam. Apa kelemahan dan kelebihan mekanisme ini?

Monograf tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta yang drafnya diusulkan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) UGM pada 2007 lalu menyebutkan sejumlah skenario rekrutmen dan seleksi kepala daerah DIY. Salah satu skenarionya sama dengan hasil rapat kabinet paripurna hari Kamis kemarin (2/12).

Dalam monograf, JIP menyebutnya sebagai skenario ketiga, di mana calon berasal dari partai atau gabungan partai dengan menghormati hak-hak politik keluarga dan kerabat dari lingkungan Kasultanan dan Paku Alaman untuk juga terlibat. Skenario ini didasarkan pada asumsi persamaan hak sebagai warga negara yang menjadi pondasi konseptualisasi
tentang negara bangsa dan demokrasi.

Dalam skenario ini, kerabat dan keluarga Kasultanan memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk menduduki jabatan publik sebagai gubernur dan wakil gubernur. Namun, bagi yang menduduki Parardhya, dalam hal ini Sultan dan Paku Alam, tidak diperkenankan.

Keunggulan metode ini adalah:

1. Persamaan hak sebagai warga negara dapat ditegakkan; dan dengannya, substansi ke-Indonesia-an dan demokrasi dapat ditegakkan.

2. Warga Yogyakarta dapat menikmati pilihan-pilihan calon Gubernur yang semakin beragam.

3. Warga Yogyakarta dapat sepenuhnya menentukan pilihannya berdasarkan aspirasi dan preferensi masing-masing.

Kelemahan metode ini:

1. Politisasi pada tingkat masyarakat akan berlangsung intens dan meluas.

2. Potensial untuk melahirkan kompetisi dan bahkan konflik antara calon-calon
yang berasal dari lingkungan Kasultanan dan Pakualaman dengan calon calon di luarnya. Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya konflik antara Kasultanan dan Pakualaman dengan masyarakat.

3. Pola hubungan konfliktual dan kompetisi tersebut dapat berakibat pada kemerosotan legitimasi Kasultanan dan Pakualaman yang akan menggiring ke arah berakhirnya peran kedua institusi ini.

4. Kasultanan dan Pakualaman dapat terjebak pada fungsi-fungsi yang bersifat
politis dengan mengabaikan fungsi-fungsi kebudayaannya. Hal ini dapat berakibat pada kemerosotan fungsi Kasultanan dan Pakualaman sebagai budaya bangsa.

5. Model ini dapat menghasilkan kepemimpinan ganda dan potensial untuk melahirkan kesulitan dalam kerjasama antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Pangageng.

6. Model ini dapat memfasilitasi terbentuknya pola hubungan konfliktual antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya.

7. Secara makro, model ini potensial melahirkan kesulitan-kesulitan pengaturan keistimewaan Yogyakarta.

Sebagaimana disebutkan pemerintah, Parardhya keistimewaan memiliki kewenangan untuk menyetujuai atau menolak calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah dinyatakan memenuhi syarat-syarat kesehatan dan administratif sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Menurut JIP, skenario ketiga ini dapat menjadi jembatan penghubung antara masa lalu kesejarahan Yogyakarta dengan tuntutan masa kini serta konstruksi bangunan politik ideal Yogyakarta di masa datang. Hal itu dikarenakan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berasal dari setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Para calon tersebut diproses secara politik oleh partai atau gabungan partai. Selanjutnya secara administratif diproses oleh KPUD. Sebelum 'dilempar' ke publik untuk menjaring suara dan ditetapkan sebagai pasangan oleh KPUD, para calon harus mendapatkan persetujuan Parardhya.

JIP� berpendapat, penolakan atas calon haruslah bersifat individual dan bukanlah atas pasangan calon. Untuk menjamin adanya standardisasi penggunaan kewenangan dalam menyetujui atau menolak calon-calon gubernur dan wakil gubernur, Parardhya keistimewaan menetapkan tata-cara serta syarat-syarat yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Dengan pemilihan langsung oleh rakyat, maka ada sejumlah kelebihan dan kelemahan yang dihadapi. Kelemahannya adalah besarnya potensi konflik dan pembiayaan yang besar. Sedangkan keunggulannya adalah lebih demokratis karena partisipasi masyarakat dapat dijamin secara luas. Selain itu terjadi peluang kompetisi politik yang tinggi.

Dengan metode ini, JIP menerangkan, pemilihan bisa menjadi arena bagi masyarakat untuk mengontrol dan memberikan persetujuan atau ketidaksetujuan atas proses-proses politik di tingkat partai atau gabungan partai dalam memunculkan kandidat; dan sekaligus dapat mengontrol dan menguji keabsahan dari putusan Parardhya.

JIP menyimpulkan, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah gubernur dan wakil gubernur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga mereka memiliki fungsi, hak dan kewajiban yang sama dengan kepala daerah di daerah lainnya. Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak hanya kepala wilayah yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat, namun juga kepala daerah yang merepresentasikan politik lokal Yogyakarta.

Sedangkan draf RUUK DIY yang dipegang Kemendagri pada pasal 11 menjelaskan:

Parardhya Keistimewaan Yogyakarta adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY.

Sedangkan pasal 21 ayat 3 berbunyi:
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan.

Pasal 22 ayat 2:
Parardhya dapat mengusulkan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur.

Pasal 23 poin c:
Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (2). (vit/nrl)

0 komentar: