Kombinasi Sipil-Militer Tak Lagi Relevan untuk Kepemimpinan Jakarta

Kombinasi Sipil-Militer Tak Lagi Relevan untuk Kepemimpinan Jakarta

Ramdhan Muhaimin - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Sudah ada empat pasangan cagub-cawagub yang diperkirakan akan bertarung memperebutkan kursi DKI-1 dan DKI-2. Tiga pasang di antaranya berkombinasi sipil-militer atau militer-sipil. Kombinasi ini dinilai tidak lagi relevan untuk konteks DKI Jakarta.

"Sebetulnya sekarang ini kombinasi sipil-militer atau sebaliknya tidak relevan lagi, khususnya untuk DKI Jakarta," ujar pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM), Arie Sudjito kepada detikcom, Sabtu (17/3/2012).

Arie mengatakan, kombinasi sipil-militer dalam kepemimpinan di DKI Jakarta terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Dia mencontohkan, pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta saat ini tidak menjadi solusi bagi persoalan Ibukota yang kompleks.

Kombinasi ideal yang seharusnya dikedepankan di DKI Jakarta, lanjut Arie, adalah sosok yang mempunyai kecerdasan dan visi pembangunan dikombinasikan dengan sosok yang memiliki kedekatan kultural dengan Jakarta.

"Jadi kombinasi kapasitas, seperti mempunyai kemampuan teknokratik untuk membuat policy strategi menyusun perencananaan pembangunan, dikombinasi dengan yang secara kultural sangat dekat dengan jakarta. Misalnya lahir di Jakarta dan suku betawi. Ini penting penting. Jadi tidak lagi sipil-militer," kata Arie.

Sayangnya, menurut Arie, partai politik saat ini telah terjebak pada pragmatisme dan lebih mengedepankan proses-proses transaksional daripada mempertahankan ideologi, visi, dan program pembangunan.

"Partai politik seperti semakin mengalami pendangkalan ideologi. Dan ini terus terjadi. Sementara yang dimajukan adalah pragmatisme dan proses-proses transaksional. Sehingga persoalan-persoalan bangsa dan Ibukota tidak pernah menjadi komitmen mereka untuk diselesaikan. Karena telah terjebak pada pragmatisme dan transaksional tadi," jelasnya.

Pragmatisme ini jelas terlihat menurut dia, pada pemilihan pasangan calon yang akan dimajukan dari partai politik. Partai lebih memilih kandidat yang populer daripada yang memiliki kapasitas dan visi.

"Yang lebih disayangkan, lebih memilih kandidat dari partai lain daripada kadernya sendiri. Jadi antar kandidat satu sama lain masih zig zag. Saya menyebut partai ini sudah masuk dalam kubang pragmatisme. Entah itu kader atau bukan, asalkan sesuai dengan konsesi-konsesi tertentu, itu terjadi. Yang penting kesepakatan, bukan ideologi," pungkas Aries.

Diketahui, hingga kini ada empat pasang yang santer bakal bertarung di Pilkada DKI Jakarta, dua dari partai politik yaitu pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono yang diusung koalisi Partai Golkar, PPP, dan PDS; dan pasangan Fauzi Bowo-Adang Ruchiatna yang diusung Partai Demokrat. Meskipun Adang merupakan politisi PDIP.

Dua pasangan lain adalah independen, yaitu pasangan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Benyamin.

Dari empat pasangan tersebut, tiga pasangan merupakan kombinasi sipil-militer, yaitu Alex Noerdin-Nono Sampono, Fauzi Bowo-Adang Ruchiatna, dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria.

Pemungutan suara pilkada DKI Jakarta akan digelar 11 juli 2012 mendatang.

(rmd/ndr)

0 komentar: