Perlu Pemimpin Ngawur Tapi Manjur

Perlu Pemimpin Ngawur Tapi Manjur

Irwan Nugroho - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta September 2010, publik di Indonesia terenyak oleh keberanian seorang prajurit TNI AU mengkritik kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan pedasnya Adji Suradji, saat itu berpangkat kolonel, mengatakan SBY tak mempunyai keberanian untuk memberantas korupsi yang menggurita.

Kontan, tulisan Adji itu mengundang reaksi keras, terutama dari pimpinan TNI. Ia ditegur. Kader partai Demokrat menuduh si prajurit disetir oleh 'sutradara' tertentu. Presiden SBY sendiri juga tersinggung, karena seorang prajurit tak berhak mengkritik atasannya.

“Karena itu bertentangan dengan sumpah prajurit, dengan UU TNI, di mana disebutkan dengan gamblang kode etik perwira,” kata Presiden.

Dua tahun lewat, wacana tentang kepemimpinan itu kembali mengemuka. Namun, yang muncul sekarang ini sama sekali bertolak belakang dengan gambaran Adji tentang sosok Presiden yang dikritiknya.

Kini muncul pemimpin yang berani, bertindak cepat, menggebrak, penuh kejutan dan terobosan. Cara-cara yang dilakukan pemimpin itu bisa saja terlihat 'nyeleneh', keluar dari aturan resmi. Namun metodenya memiliki daya perubahan positif yang luar biasa.

Adalah aksi dua orang pemimpin, Dahlan Iskan dan Joko Widodo, yang menjadi pemicunya. Dahlan adalah Menteri BUMN, sementara Joko merupakan Walikota Solo yang kini maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

Pagi-pagi, di pintu Tol Dalam Kota Jakarta, Dahlan 'mengamuk' melihat antrean panjang kendaraan. Tidak cuma ngamuk, ia juga membuka loket tol yang masih tutup dan membiarkan mobil melintas secara gratis. Aksi mantan Dirut PLN itu dilakukan karena geram instruksinya tak dijalankan PT Jasa Marga Tbk.

Pascakejadian itu, Jasa Marga kalang kabut. Rapat digelar. Petugas tol yang terlambat masuk kerja di pintu Semanggi I, termasuk kepala shift, dikenai surat peringatan (SP). Antrean kendaraan di pintu tol pun ditertibkan. Sehari kemudian, tak tampak lagi adanya barisan berpuluh-puluh meter mobil di pintu Tol Dalam Kota.

Lalu, Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, tampil ke pentas Pilgub DKI Jakarta. Jokowi adalah sosok pemimpin daerah yang fenomenal. Solo adalah sebuah kota kecil yang masalahnya tidak kecil. Di sini, masalah kecil saja bisa jadi masalah besar, tukang becak ribut bisa jadi demo dan rusuh. Pada Mei 1998 misalnya, kota ini dilanda rusuh besar.

Pendek kata, kerusuhan gamang terjadi di Solo. Tapi di tangan Jokowi kota Solo menjadi adem dan tentram. Berbagai kebijakan Jokowi juga mampu membuat kota kecil di Jawa Tengah itu berbenah.

Selama lebih dari tujuh tahun ia memimpin, banyak perubahan terjadi di Solo, kota yang sebelumnya tak tertata dengan baik. Jokowi melindungi kota, budaya, dan masyarakat Solo dari arus deras modernisme meski ia harus melawan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo.

Kesuksesan Jokowi itu membuat banyak orang percaya ia mampu memecahkan berbagai masalah akut di ibukota. Bersama pasangannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Jokowi melangkah dengan pasti. Ahok juga dikenal sebagai sosok pekerja keras. Semasa menjadi Bupati Belitung Timur (2005-2010), ia juga mempunyai segudang prestasi.

Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menilai sosok seperti Dahlan Iskan dan Jokowi itulah yang kini dirindukan oleh masyarakat. Masyarakat sudah bosan dengan pemimpin yang cuma pandai beretorika, birokratik, dan tidak berani mengambil risiko.

Menurut Rhenald, masyarakat juga amat jenuh dengan para pemimpin yang gemar mengumbar janji, tetapi ternyata pasif, alias tak berbuat apa-apa untuk kemajuan masyarakat.

Setidaknya ada lima ciri pemimpin ideal yang disebut Rhenald sebagai pemimpin transformatif. Yaitu, pemimpin yang memprioritaskan masyarakat, pandai berkomunikasi dengan orang yang dipimpin, dan sering turun ke lapangan. Kemudian, pemimpin yang mempunyai energi cukup besar, dan mampu memecahkan masalah ruwet dengan solusi sederhana.

“Karakter itu sudah ada dimiliki Jokowi dan Dahlan Iskan,” ucap Rhenald kepada majalah detik.

Rhenald melanjutkan, Dahlan Iskan dan Jokowi adalah pemimpin yang berasal dari kalangan entrepreneur. Kehidupan ekonomi mereka sudah mapan. Orang-orang seperti itu akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk institusi yang dipimpinnya. Apa pun risikonya. Selain itu, kapasitas yang dimiliki akan mereka gunakan seoptimal mungkin untuk melayani masyarakat.

“Misal yang terjadi pada Dahlan Iskan. Dia bilang 'kalau Jasa Marga merasa dirugikan, saya yang bayar', itu memperlihatkan dia lebih mengutamakan kepentingan rakyat,” katanya.

Di samping seorang pengambil keputusan (decision maker), Rhenald menilai Jokowi juga pemimpin yang teguh memegang keyakinannya. Hal itu terlihat ketika Jokowi bersilang pendapat dengan atasannya, Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Di mata masyarakat, Jokowi melawan. Tapi sebetulnya, menurut Rhenald, Jokowi berusaha untuk melakukan apa yang diyakininya sebagai kebenaran.

“Keteguhan seperti itu yang juga dirindukan masyarakat,” ucapnya.

Budayawan Sujiwo Tejo melihat cara-cara yang dipakai oleh Dahlan Iskan dan Jokowi itu ngawur. Namun, ngawur di sini berarti sesuatu yang tidak umum sebagaimana dilakukan banyak pejabat. Lalu, tindakan ngawur itu tercetus dari seorang pemimpin karena merasa apa yang dilakukannya benar. Hasilnya pun juga tidak salah.

Tindakan Dahlan Iskan di jalan tol itu, kata Mbah Tejo, sapaan akrabnya, mampu memberikan shock therapy. Di samping itu, aksi yang dilakukan Dahlan sebelumnya, seperti menaiki kereta api ke Bogor untuk rapat kabinet, dapat menjadi gerakan sosial untuk mencintai modal transportasi tersebut.

Bila Dahlan lebih eksplosif dengan gaya Jawa Timur-nya, Sujiwo Tejo memandang Jokowi adalah tipe 'ngawur' tapi tetap menjaga kesantunan. Misalnya, ketika Jokowi merelokasi hampir seribu pedagang kaki lima di Solo tanpa kekerasan. Ngawur karena benarnya Jokowi itu, menurut Sujiwo juga ditunjukkan saat menghadapi Gubernur Jateng.

“Makanya nanti kalau Jokowi jadi DKI 1, ada dua lah yang ngawur karena benar di Jakarta ini. Di Kabinet satu, di Merdeka Selatan satu,” ucap budayawan yang baru saja meluncurkan buku “Ngawur karena Benar ini.

Namun, pemimpin Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid mengingatkan, agar kita tidak mudah gumon. Seorang pemimpin akan teruji kualitasnya setelah ditempa selama bertahun-tahun. Tak cukup menilai kemampuan seorang pemimpin dari kementerian yang dipimpinnya, atau dari keberhasilannya memimpin sebuah kota kecil. “Jangan silaulah, buktikan dulu beberapa tahun ke depan,” tegas Gus Solah.
Edisi terbaru Majalah Detik (edisi 18, 2 April 2012) mengupas tuntas drama kenaikan BBM dengan tema "Tuah Ical 'Marah'", juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik seperti rubrik nasional membahas Anggota KPU baru "Menghindar dari 'dosa' Andi dan Anas", berita komik 'Pilkada DKI', Internasional 'Mimpi Dunia Tanpa Nuklir', rubrik gaya hidup 'Berburu sensasi artis Bookingan', rubrik seni dan hiburan dan review film 'The Raid', WKWKWK 'Bapak-anak Nekat sumpah Pocong' serta masih banyak artikel menarik lainnya.

Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi pdf bisa di-download www.majalahdetik.com Selamat menikmati!
(iy/iy)

Dapatkan ulasan lengkap mengenai laporan & investigasi Majalah Detik melalui iPad dan Android tablet Anda

0 komentar: