Dari Negara Hukum (Mandul) ke Negara Politik

Dari Negara Hukum (Mandul) ke Negara Politik

Jusman Dalle - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Aparat hukum menari di dunia politik. Para politisi menjadi sutradara atas skenario hukum dengan konsesi kompromistik. Politisi dan hakim -serta penegak hukum lainnya- berselingkuh. Semua sudah biasa.

Itulah narasi mini kehidupan politik dan hukum di negeri ini. Tumpang tindih, entah mana yang mengatur dan mana yang diatur. Mana enaknya bagi kedua fihak. Standarnya bukan kebenaran.

Dari Negara Hukum ke Negara Politik

Melalui Undang Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 3, kita sepakat bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) berdasar Pancasila, bukan negara kekuasaan (matchstaat). Artinya, yang layak menjadi panglima di negeri ini adalah hukum.

Sebagai negara hukum menurut Sri Somantri Martosoewignjo (1992), setidaknya ada empat ciri atau unsur dasar yang ditemukan dan harusnya diterapkan dalam proses pemerintahan di Indonesia. Yaitu tugas dan kewajiban pemerintah dilaksanakan berdasarkan hukum, adanya jaminan terhadap HAM, terlaksananya pembagian kekuasaan, dan adanya pengawasan dari badan peradilan (rechtsterlijke controle).

Hans Kelsen dalam buku Altgemeine Staatslehre, menuliskan bahwa semakin tinggi keinsyafan hukum masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna. Cita-cita UUD 1945 ialah menciptakan negara Indonesia yang berjalan di atas supremasi hukum, keteraturan, demokrasi, kemakmuran dan terjaminnya hak-hak warga negara, demikian tulis Frans Hendra Winarta dalam bukunya Pro Bono Publico (2009).

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka semua harus patuh dan tunduk pada hukum. Hal ini dilandasi keyakinan, bahwa karakter manusia yang beragam hanya bisa diatur dan ditundukkan dengan aturan. Namun kini kesepakatn tersebut perlu ditinjau kembali.

Pemandangan yang kita saksikan akhir-akhir ini, khususnya pasca reformasi dengan gelombang demokratisasinya, membuktikan hukum tidak lagi sakti sebagai regulator dalam interkasi warga negara dengan negara maupun antar sesama warga negara. Karena ternyata ada kekuatan yang lebih sakti dan mampu mengendalikan hukum. Dialah kekuatan politik.

Leviathan Demokratis

Fenomena demokrasi liberal semakin semarak oleh berbagai perseteruan yang tidak mampu diurai lewat jalur hukum. Tapi diselesaikan melalui jalur politik. Leviathan, sosok monster laut dalam legenda Yunani Kuno yang diadopsi dalam pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679), dalam wujud halusnya merasuki sistem kenegaraan kita.

Dalam legenda Leviathan, Hobbes menganggap manusia hidup seperti dalam rimba, sesamanya dianggap srigala. Yang kuatlah yang menang. Secara komparatif, di Indonesia, satu-satunya jalan untuk mengurangi resiko kekalahan dari lawan politik adalah melalui jalan perselingkuhan politik kompromistis. Berbagi kepentingan. Tapi hanya sementara.

Maka jangan heran jika dalam politik, yang dulu berkawan, berkoalisi, (bahkan ada yang membuat istilah suami-istri dan backbone), bisa bermusuhan dan saling serang ketika tak ada lagi yang bisa dikompromikan. Jadilah perangai sosok Leviathan kembali dipraktekkan. Bedanya, jika di Zaman Yunani Kuno sosok Leviathan tampil ganas, di Indonesia Leviathan menyatu dengan tarikan nafas demokrasi liberal, maka jadilah dia soft Leviathan.

Hadirnya negara dengan perangkat hukum yang ada, sebagaimana rasionalitas Plato dan Aristoteles yang mengatakan bahwa tanpa negara kehidupan sulit berlangsung teratur, hanya konsepsi semata. Karena elit menciptakan "keteraturan" dengan gayanya sendiri. "Keteraturan" sesuai kepentingan politik. Ini tidak lepas dari sistem demokrasi liberal yang membuka ruang bagi setiap orang sebagai partisipan.

Hal ini menurut Samuel T. Huntington akan menganggu stabilitas. Karena termobilisasinya kelompok-kelompok baru dapat saja dilihat oleh elit yang berkuasa sebagai ancaman stabilitas nasional, padahal situasi aman sangat diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan publik. Maka dari itu menurut Huntington sebagaimana dikutip Prof, Miriam Budiarjo (2008), mereka akan berikhtiar mengendalikan tingkat serta intensitas partisipasi agar tidak terlalu menganggu stabilitas.

Negara Alpa

Sudah banyak peristiwa politik yang menjadi premis dan secara faktual membuktikan proposisi di atas. Saat ini misalnya, ada sejumlah kasus yang terus berputar-putar pada sentrum kekuasaan. Permasalahan hukum terus dikendalikan oleh tangan ajaib pemilik kekuasaan.

Misalnya membekunya pengusutan mega skandal Bank Century yang berakhir dengan kepergian Sri Mulyani dan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab).

Masih ada yang lain, seperti upaya penangkapan KPK terhdap Nunun Nurbaeti, tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI. Pengusutan penyelewengan anggaran negara dalam proyek pembangunan Wisma atlit Sea Games di Palembang yang melibatkan politisi Partai Demokrat.

Juga pembentukan Panja kursi haram akibat rekayasa oleh pelaksana pemilu dan penetapan kursi di DPR yang melibatkan mantan anggota KPU dan aparat hukum, hingga eksekusi TKI yang menyebabkan saling tuding dan saling bertopeng citranya beberapa elit penguasa dengan memanfaatkan momentum menyesakkan tersebut. Semua diarahkan menukik pada politik. Akhirnya, kesibukan elit hanya pada pusaran kekuasaan. Rakyat dilupakan.

Gambaran di atas hanyaah bagian kecil dari rangkaian panjang kealpaan pemerintah yang akhirnya menimbulkan amnesia kolektif –penguasa ramai ramai melupakan kepentingan rakyat- akibat serunya perseteruan politik, merebut atau mengamankan kekuasaan.

Jika mau dihitung-hitung, sangat panjang daftar ke-alpa-an penguasa akibat amnesia kolektif tersebut. Misalnya saja alpa dalam mengelola perekonomian negara, sehingga tak mampu diakses oleh rakyat kecil. Kealpaan yang memaksa rakyat mencari nafkah di negeri orang. Karena di sini, di negerinya sendiri, akibat kealpaan penguasa, sumber-sumber kehidupan telah dikangkangi oleh kapitalis asing yang datang atas nama investasi. Investasi yang menguntungkan sepihak bagi penguasa.

Perekonomian yang sering dibangga-banggakan karena katanya pertumbuhannya terbesar ke-3 di dunia, tidak banyak dirasakan dampaknya bagi rakyat kecil. Kenyataan memperlihatkan betapa kerasnya usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang hampir luput dari perhatian negara. Bahkan lebih nahas lagi saat pemerintah meloloskan impor berbagai kebutuhan domestik yang sebenarnya juga dijual oleh penduduk lokal.

Tidak hewan, tidak buah-buahan, semua diimpor. Misalnya dari Cina, sebagai konsekuensi dari CAFTA (Cina Asean Free Trade Agreement) yang distempel pemerintah tanpa persiapan matang. Mulai dari jeruk, lem/perekat, dan apel semua diimpor. Bahkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari lalu sangat mengagetkan kita. Tergambar betapa lemahnya komitmen pemerintah menjaga produk domestik.

Menurut BPS bahwa selama rentang waktu empat bulan (Januari-April 2011), impor buah apel dari Cina mencapai angka Rp. Rp.362 Triliun (Koran Tribun Timur,21/6/2011). Artinya dalam setahun angka impor apel saja setara dengan � nilai belanja APBN sebesar Rp. 1.229,5 triliun.

Pertanyaan kita, dimana Menteri Perdagangan? Mengapa meloloskan impor yang akan mengebiri produk domestik. Atau kalau karena alasan kualitas produk pertanian tidak mampu bersaing dengan produk impor, lantas dimana Menteri Pertanian? Kenapa tidak mendampingi petani apel agar produk apel domestik bisa meningkat kualitasnya?

Sekali lagi,. kita mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi tersebut, termasuk mempertanyakan klaim pemerintah terhadap lonjakan jumlah kelas menengah ekonomi rakyat Indonesia yang lagi-lagi katanya melonjak menjadi 42,7 persen atau 93 juta jiwa.

Apakah angka-angka tersebut tidak linier dengan tingkat penyerapan tenaga kerja di dalam negeri yang satu variabel dengan bahasa pertumbuhan ekonomi? Kalau begitu siapa yang semakin kaya dan menikmati pertumbuhan ekonomi yang dimaksud? Kemana arah pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Akhirnya kesejahteraan yang dicita-citakan masih terlalu jauh dari kenyataan. Segala kesibukan terkanalisasi oleh daya magnetis kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari sistem politik, pembagian kekuasaan yang mengedepankan kompromi, bukan berbasis pada kompetensi.

Lagi Invisible Hand

Padahal menurut Budi Winarno (2007), selain swakelola (self organizing) dan meminimalkan kekuasaan terpusat yang koersif (coercive central authority), pembagian kekuasaan (power sharing) merupakan salah satu unsur penting atas usaha pengelolaan terhadap berbagai kepentingan manusia melalui cara-cara demokratis dan dapat dipertanggung jawabkan secara bersama-sama.

Oleh karenanya, keberlangsungan peradaban manusia, termasuk keberlangsungan suatu negara ditentukan oleh pola-pola kekuasaan, di dalam dan diantara masyarakat. Implikasi ketika power sharing tersebut by interest, adalah lemahnya kompetensi, karena asal dapat jatah jabatan saja.

Implikasinya, logika kekuasaan koersif yang terpusat masih berlaku. Kekuasaan yang menimbulkan rasa ketakutan, karena secara tidak sadar memaksa bertindak sesuai keinginan pemilik kekuatan. Yaitu mereka yang mampu merekayasa demokrasi. Lagi-lagi politik menjadi the invisible hand (tangan ajaib) yang secara ghaib menciptakan keteraturan semu dan temporer. Termasuk dengan memandulkan hukum. Secara mekanis, negara digiring pada kebangkrutan.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)


Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323

(wwn/wwn)

0 komentar: